Sabtu, 29 Agustus 2015

Terkecoh dengan Penampilan

Suatu hari saya ikut training dari suatu komunitas bisnis. Acara training itu ditiadakan pada saat istirahat makan siang, dan kami menunggu untuk acara training berikutnya. Kawan saya yang berasal dari kantor lain iseng-iseng atau serius bertanya kepada saya. Dia menanyakan kenapa saya ikut bergabung ke bisnis ini. Sebagai seorang yang ingin memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, tentu saya menceritakan apa yang menjadi impian dan harapan saya. Maka saya pun mengatakan bahwa saya ingin ini dan itu, termasuk ingin menyekolahkan anak saya di luar negeri nantinya.

Bagi saya itu hal yang wajar, dimana orang tua ingin memberikan yang terbaik kepada anaknya. Maka saya pun demikian. Saya katakan itu, karena saya dulu seperti itu dan pernah merasakan sekolah di luar negeri,yaitu di Amerika Serikat. Cuma bedanya saya mendapatkan kesempatan itu dengan meraih beasiswa. Dari hasil beasiswa itu telah mengantarkan saya bisa mengunjungi beberapa negara dan sejumlah negara bagian di Amerika. Jadi praktis semua biaya dan pengeluaran tidak menjadi masalah bagi saya, karena sudah ada yang menanggungnya. Hanya saya yang perlu mempersiapkan diri disana sini, tentunya dengan persiapan mental yang tidak kalah pentingnya.

Dari pengalaman tersebut, kini saatnya saya menginginkan anak saya juga seperti itu. Paling tidak itu suatu harapan saya. Apalagi dengan adanya bisnis baru yang saya tekuni, kemungkinan dan peluang itu ada. Kenapa tidak saya pakai sebagai suatu cita-cita atau impian? Bodohlah kalau saya hanya menginginkan terpenuhinya kebutuhan pangan dan sandang saja di bisnis ini. Apalagi reorientasi menjalankan bisnis baru ini saya sudah tidak muda lagi. Makanya saya pun ingin mengejar semua impian yang belum tercapai dalam hidup ini.

Ditengah-tengah proses menunggu kelas berikutnya, tak disangka anak saya sms menanyakan dimana saya menaruh kunci rumah. Saya jawab seperti biasanya ada di tempat yang sama, tapi ternyata anak saya tidak menemukannya. Saya pun langsung menelpon anak saya, takut jawaban sms yang saya kirim kalah cepet, sementara dia harus buru-buru berangkat ke mesjid untuk shalat Jum'at.

Dengan menelpon langsung ke anak saya, praktis saya membuktikan bahwa saya dan anak saya memang menggunakan bahasa Inggris. Suatu kebiasaan yang jarang dilakukan oleh banyak orang tentunya, apalagi kami dari kalangan orang biasa-biasa saja. Tapi itulah yang kami lakukan dimana saja kami berada. Tidak peduli tempat dan wilayah, kami selalu berkomunikasi dan mempraktekkan bahasa Inggris dengan anak saya. Bukan maksud kami untuk menyombongkan diri, tapi saya lakukan karena saya memang tidak ingin bahasa Inggris anak saya hilang, sehingga dia harus kursus bahasa Inggris lagi. Sayanglah uang dibuang-buang hanya untuk sekedar mempraktekkan bahasa Inggris sehari-harinya. Kenapa kami tidak mempraktekkannya langsung setiap hari?

Setelah selesai kami ngobrol lewat telpon, praktis temen saya tahu kalau saya menggunakan bahasa Inggris dan itu sebagai wujud dan usaha dimana saya ingin sekali menyekolahkan anak saya disana. Sekarang ini niat, persiapan mental dan studi sudah disiapkan. Tinggal menunggu uangnya saja yang belum terkumpul. Makanya dengan bisnis yang baru saya tekuni ini, saya tentu berharap yang lebih dan salah satunya ingin menyekolahkan anak saya ke luar negeri. Tepatnya di Amerika. Salahkah saya?

Temen saya dan saya kemudian menyempatkan diri untuk shalat Dzuhur di mesjid yang ada di mal sebelum kami masuk ke kelas berikutnya. Tak disangka juga, dia pun menyampaikan uneg-unegnya. Katanya, saya tidak kelihatan sekali orang yang pernah tinggal dan hidup di negeri orang. Apalagi Amerika, dimana kebanyakan dari mereka berpenampilan glamor, wah dan mungkin dengan berbagai acesories dan tas yang keren. Sementara saya sendiri berpenampilan sangat sederhana dan apa adanya. Bahkan untuk makan siang pun saya memilih untuk tidak makan, tetapi hanya sekedar minum yang saya bawa dari rumah.

Kenapa saya melakukan itu? Saya pikir, saya tidak makan hanya sekali dan itu sekedar makan siang. Sarapan tadi pagi saya sudah makan secara lengkap dan terpenuhi. Bagi saya hal itu sudah cukup , apa salahnya kalau saya hanya sekedar menunda makan sekali saja. Toh saya masih tetap makan malam di rumah nantinya. Disisi lain, saya pun ingin sekedar untuk menghemat, karena saya tahu makan di mal bisa dibilang tidak murah. Kenapa saya harus menghabiskan uang hanya untuk  melampiaskan rasa lapar perut?

Dari situlah mungkin temen saya melihat ada keanehan sedikit dari saya yang begitu menghemat atau mungkin kelihatan miskin. Saya tidak tahu apakah dia mengira saya menyengsarakan diri dengan tidak makan? Sebagai gantinya perut hanya diisi dengan air. Mungkin juga itu yang membuat memberi kesan ke dia bahwa saya kelihatan kurus, seperti kurang makan?

Bathin saya tengoklah di rumah, tentu ada banyak makanan dan saya tidak pernah kelaparan. Saya bahkan makan apa saja di rumah, dan kenyang, walaupun saya memang sangat jarang beli makanan di luar. Semua itu saya lakukan untuk menghemat biaya-biaya, maklumlah budget nya saja mepet.

Ah! manusia, kenapa kau begitu terkecoh dengan penampilan di luar. Gemerlapnya dunia luar, belum tentu ada isinya. Tapi low profile tidak berarti kuno, kuper dan bahkan miskin. Saya ada uang dan ATM di dompet, yang bisa saya pakai atau pun ambil duitnya. Tapi saya tidak mau melakukan itu, hanya karena belum waktunya untuk berfoya-foya. Suatu saat saya yakin bisa untuk makan dimana-mana, bahkan di restorant yang termahal pun.

Tak apalah ini sekedar introspeksi diri, kenapa begitu mudah orang terkecoh dengan penampilan yang belum tentu benar atau bahkan bisa mengelabuhi pemandangan kita.

Rabu, 26 Agustus 2015

Aku adalah Tenaga Pemasar untuk Bisnisku Sendiri

Terasa lama memang aku tidak menulis di blog, baik di blog keroyokan Kompasiana maupun di blog pribadiku ini. Aku tidak tahu apakah kesibukan daratku bisa dipakai sebagai excuse atau hanya alasan karena aku malas, tidak ada waktu atau tidak sempat untuk mengembangkan hobiku yang baru ini. Tapi yang jelas prestasi menulisku sudah menurun drastis. Terlihat dari tidak adanya update tulisan dalam blog ku ini.

Semoga kesadaranku untuk menulis kembali tumbuh dengan suburnya seiiring dengan naiknya minatku dalam dunia investasi dan asuransi. Karena kedua bidang ini sekarang sedang aku geluti dalam dunia nyata dan tentunya aku juga ingin mewujudkannya dalam bentuk tulisan, sehingga blogku benar-benar menjadi branding tersendiri. Tanpa aku secara langsung menjelaskan atau mempromosikannya keluar, orang sudah tahu siapa diriku yang sebenarnya. Tentunya jalan termudah untuk mengenalnya adalah melalui tulisanku ini, karena aku sendiri tidak lain adalah tenaga pemasar bagi bisnisku sendiri.

Dengan dua kegiatan daratku yang sungguh menyita ini, aku ingin benar-benar mencapai financial freedom. Itulah cita-cita yang hendak aku raih di masa depan. Tak apalah saat ini aku masih terseok-seok, tapi aku yakin suatu saat aku bisa menggapai dan menikmatinya, asalkan aku mau berusaha. Tak perlu lagi aku disibukkan oleh berbagai acara untuk kumpul-kumpul sana sini yang tidak perlu, apalagi kalau hanya sekedar mendapatkan goodie bag dan makan siang gratis. Tapi tujuan utamaku untuk mengedukasi masyarakat menjadi terbengkelai. It's just no no.

Bukankah dengan hadir pada suatu acara berarti aku mau menjadi tenaga pemasar atau corong bagi suatu perusahaan. Hmmm, not anymore. Aku mempunyai kesibukan tersendiri dan aku harus mengembangkan bisnisku sendiri untuk bisa menjadi besar dan lebih besar lagi tentunya. Bukankah begitu sebagai pemilik bisnis kalau ingin sukses?

Amien and semoga