Senin, 11 Januari 2016

Perlunya Keterbukaan dalam Berpromosi

Ilustrasi tentang Keterbukaan (doc: ariefpaderi.com)

Saya memang orangnya sangat perhitungan kalau mau mengeluarkan uang untuk sesuatu. Hal ini disebabkan karena saya merasa sulitnya dalam mencari uang. Makanya saya berusaha hati-hati jangan sampai salah sasaran, karena saya tahu uang yang sudah dikeluarkan akan sulit kembali. Maka wajarlah kalau saya begitu perhitungan. Saya tidak tahu apakah hal ini masuk dalam kategori pelit atau hati-hati.

Sebagai contoh. Saya membaca iklan tentang diadakannya suatu kelas untuk  suatu topik. Saya suka dengan topiknya karena kebetulan saya sedang mendalaminya. Tapi saya memang bukan seorang pemula, jadi basic atau ilmu dasarnya sudah ada. Cuma saya perlu mereview atau merefresh kembali. Terus saya mencoba mendaftar kalau masih ada tempat. Tidak lama kemudian saya pun mendapat balasan, yang intinya saya masih bisa masuk, karena masih ada 5 bangku kosong. Panitia kemudian minta alamat email yang menurut saya pun wajar, siapa tahu panitia ingin memberikan tambahan informasi untuk dishare nantinya. 

Eh ternyata sehari kemudian saya dapat email yang meminta saya bayar sebesar Rp 200.000,- kalau mau ikut kelasnya untuk mengganti biaya makan siang dan penggantian materi. Uang harap ditransfer ke rekening ini dan sebagainya. Saya pun jadi kaget, lha dimana ada pernyataan biaya sekian diiklannya. Penekanannya justru pada kelas yang terbatas, maka saya pun buru-buru mendaftarnya. Cuma sayangnya disana tidak dicantumkan berapa biaya atau investasi yang diperlukan. Saya sendiri juga tidak menanyakan berapa biayanya lebih dahulu ketika saya mendaftar. 

Makanya ketika tahu saya harus bayar, yaa kaget. Kalau mau jujur dan terbuka yaa cantumkan semua biayanya di depan. Jadi siapa pun yang tertarik dan berminat, bisa sekalian mempertimbangkan plus minusnya. Kalau tidak, bagaimana peserta bisa tahu apa yang tersirat di dalam iklan itu. Sama saja dengan menjebak peserta di belakang. Setelah terdaftar disuruh bayar sekian dengan justifikasi untuk ini dan ini. Bagi saya makan siang Rp 100.000 itu besar lho, apalagi mungkin dikasihnya nasi pakai box, sama snack juga pakai box. Paling-paling berapa tuh biayanya.

Terus terang saya kecewa dengan cara-cara terselubung seperti itu. Di jaman yang menuntut keterbukaan, masih saja ada orang yang menggunakan cara yang tersembunyi. Kalau saya tahu dari awal, mungkin saya tidak akan mendaftar atau paling tidak mempertimbangkan untung  ruginya. Lagian saya hanya sekedar mereview ulang dan melihat pengamatan dari orang lain. Jadi tidak terlalu mendesaklah bagi saya untuk ikut kelasnya. Saya sendiri juga bisa memperoleh tambahan informasi dengan membaca dari tempat lain. 

Akhirnya saya pun bilang kalau saya mau membatalkan karena bagi saya ilmu itu  tidak mendesak. Kenapa saya harus membayar untuk sesuatu hal yang tidak urgent atau dibutuhkan? Bagi saya itu lebih baik daripada saya kecewa nantinya setelah saya ikut. Uang Rp 200 ribu mungkin bukan jumlah yang besar untuk suatu kebutuhan, karena untuk sekali belanja kadang habisnya lebih dari itu. Tapi kalau hanya sekedar mengisi waktu dan mereview, bagi saya biaya itu sangat besar. 

Menurut saya jual beli semacam itu secara agama pun mungkin dilarang, karena tidak jelas informasi dan akadnya. Tahu-tahu peserta disuruh bayar dengan jumlah yang tidak  sedikit. 

Lain kali saya memang harus hati-hati dalam membaca suatu iklan atau promosi. Perjelas semua yang ada dan utamanya mengenai biayanya. Jangan sampai saya kejebak untuk hal-hal yang tidak dibutuhkan. Hal itu untuk menghindari pengeluaran ekstra dan tidak terduga. Yang jelas, akan menghemat biaya kalau semuanya serba terbuka dan tidak ada yang dikecewakan untuk masing-masing pihak.

Untung saya belum ikut dan mengeluarkan uang. Jadi semuanya masih aman, tapi kekecewaan jelas ada. Tidak apalah, itu sebagai biaya yang harus dibayar untuk suatu yang terselubung dan tidak transparan. Belajar untuk lebih berhati-hati.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar