Deklarasi Caleg Perempuan (doc: antaranews.com)
Sebagai orang yang berhak memilih, tentu penasaran siapakah
calon yang pantas didukung. Tentunya sebelum memilih, saya ingin tahu siapa
calon legislatifnya yang akan menyuarakan segala kepentingan rakyat untuk
kemajuan bangsa, bukan untuk kepentingan sesaat. Makanya saya tidak ingin
memilih legislatif seperti memilih kucing dalam karung. Tahu-tahu yang
didalamnya macan atau singa yang lebih ganas dan berbahaya.
Kini bukan saatnya lagi kita memilih calon legislatif hanya
berdasarkan gelar, kecantikan, dan kekayaan semata. Tapi saya akan memilih
caleg yang berkualitas, mempunyai track record yang bagus, mempunyai ide-ide yang cemerlang
serta mampu menyuarakan hak-hak dan mengerti aspirasi warganya. Apalagi kalau kualitas
itu ada pada seorang Caleg perempuan, maka ia pantaslah menjadi perempuan
legislatif yang akan duduk di Senayan atau DPRD setempat. Diharapkan mereka mau mendengarkan suara rakyat, berjuang dan
memperjuangkan aspirasi rakyatnya. Tidak hanya mau tujuannya saja yang tercapai
untuk menjadi wakil rakyat yang duduk di DPR atau DPRD.
Oleh karena itu masa kampanye sebenarnya sebuah proses
dialog yang terbuka. Yaitu suatu dialog yang jujur antara warga dengan para
caleg untuk menemukan siapa caleg yang sebenarnya. Bukan untuk memanipulasi dan
memoles demi kepentingan diri sendiri. Menurut Rober Bala, ciri dari kampanye yang
jujur ditandai oleh beberapa hal. Pertama, sumber dialog berasal
dari lawan bicara, yaitu untuk menyerap
aspirasi, bukan menyampaikan apa yang akan ‘dikerjakan’. Dengan caleg
memiliki empati dan memerhatikan apa yang dikehendaki rakyat, maka rakyat/warga
akan mudah menerima dan akan dengan senang hati untuk memberikan suaranya.
Kedua, kampanye
itu harus memberikan rasa optimisme untuk melanjutkan kehidupan dan memahami
tanggungjawab yang ada. Kalau caleg itu perempuan, maka diharapkan mereka bisa
memberikan peran positif karena bisa menyuarakan lebih banyak permasalahan yang
dihadapi ketika mereka duduk di DPR/DPRD.
Ketiga, dialog
atau kampanye perlu berjiwa. Sebuah dialog akan dirasakan manfaatnya ketika
yang ‘bermain’ adalah jiwa, yaitu ada usaha untuk saling memahami jiwa partner karena
ingin menyuarakan nuraninya dan berharap agar suaranya didengarkan dan ingin menyuarakan nuraninya.
Apabila semua sudah dijalankan, tidak berarti semua
perempuan yang masuk dalam daftar caleg berhati mulia. Hal ini terbukti dengan terjebaknya
beberapa politisi wanita dalam kisaran korupsi menunjukkan bahwa hal itu tidak
menjamin bahwa mereka lebih baik dari lelaki.
Tetapi yang pasti, kehadiran mereka yang seimbang, melalui
dialog yang luwes dan terbuka, akan memungkinkan sebuah kontrol yang lebih
kuat. Maka kehadiran perempuan memang sangat dibutuhkan di Senayan atau DPRD
setempat. Hal itu tidak sekedar untuk memenuhi tuntutan kesetaraan jender,
kuota caleg perempuan dan memberikan wajah lebih sejuk. Tetapi apabila wanita ikut
berkiprah, maka kemajuan akan bisa diraih.
Hal ini karena secara alamiah, perempuan tidak akan berjuang untuk dirinya
sendiri tetapi mereka ada untuk orang lain.
Memang tidak dapat dipungkiri keterlibatan legislatif
perempuan seperti Angelina Sondhak dan Chairunissa dalam kasus korupsi, menjadi
sebuah duri dalam daging. Itu menunjukkan bahwa kuota itu ternyata tidak
berkontribusi positif. Sebenarnya keterlibatan beberapa perempuan dalam korupsi
tidak menjadi alasan untuk menggeneralisir. Hal itu akan sama juga berpikir
bahwa perkara korupsi juga melibatkan banyak laki-laki.
Lalu mengapa pemberian kuota 30% mesti dipertahankan? Hal ini karena adanya
kesadaran masa lalu yang penuh dengan diskriminasi menjadi salah satu
pengalaman pahit. Dengan pemberian kuota menunjukkan sebuah ekspresi untuk
menghilangkan kendala masa lalu. Kenyataan itu tidak hanya terjadi di
Indonesia. Tapi juga di Negara-negara lain, karena ada beban sejarah yang tidak
bisa disangkal. Dengan cara pandang ini maka pemberian kuota sama sekali tidak
mencederai prinsip kebebasan memilih. Justru menyadarkan bahwa pengalaman
minimnya partisipasi itu disebabkan oleh pengalaman sejarah. Karena itu, perlu
dibantu.
Sebaliknya dalam iklim demokrasi, pemberian kuota justru
dianggap bertentangan dengan prinsip ‘equal opportunity’, artinya semua
orang mempunyai kesempatan yang sama dan karenanya tidak perlu ada yang
‘diprioritaskan’. Dalam perspektif ini, pemberian kuota dianggap tidak
demokratis karena pemilih bebas menetapkan siapa yang akan menjadi wakilnya. Bukan
karena ‘gender’ tetapi karena kualifikasi. Jadi menurut iklim demokrasi kehadiran
caleg perempuan bukan sekedar formalitas untuk memenuhi kuota 30%.
Apalagi pemberian kuota juga menyebabkan konflik internal
dalam partai politik, mencederai demokrasi yang sangat diinginkan oleh banyak
orang. Paling tidak akan menggeser posisi caleg laki-laki untuk memberi
proporsi kepada perempuan.
Lalu apakah kehadiran caleg perempuan benar-benar berkontribusi
terhadap dinamika politik atau memberi bobot ataukah malah tidak ada bedanya?
Sebenarnya pemberian tempat kepada kehadiran perempuan dalam
legislatif, tidak sekedar masalah ‘kuota’. Itu tidak lebih dari hanya sekedar
memberi peluang tetapi tidak memperhatikan kualifikasi personal. Padahal dibalik
pemberian kuota, ada sejumput harapan agar kehadiran caleg perempuan bisa
memberi bobot pada parlemen.
Oleh karena itu yang dibutuhkan di lembaga legislatif adalah
tidak sekedar ‘legislatif perempuan’ yang terpilih, tetapi karena
memang perempuan itu berkualitas. Ini berarti proporsi perempuan legislatif
yang berkualitas sangat dibutuhkan dalam memberi corak dan kualitas pada
parlemen. Disisi lain, perlu juga diakui bahwa realitas parlemen yang didominir
oleh legislatif laki-laki, kadang terhadang oleh ulah ‘kelelakian’ untuk
menunjukkan diri mereka ‘terhebat’. Sehingga berbagai dialog terkadang menjadi mandek
atau buntu.
Makanya kehadiran perempuan dengan ‘keperempuanannya’
diharapkan dapat mencairkan atau memperlancar dialog. Namun dari semua itu rakyat/ warga berharap kehadiran perempuan legislatif harus diimbangi dengan ide-ide
cemerlang, sehingga mereka memberikan bobot tersendiri. Dengan demikian undang-undang
yang dihasilkan memberikan wajah yang lebih seimbang karena masuknya
pemikiran perempuan benar-benar sangat diharapkan. Itulah sebabnya dibutuhkan lebih banyak caleg perempuan, agar bisa menghasilkan undang-undang yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Karena secara kodrati mereka (perempuan legislatif) ada buat orang lain.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa yang kita butuhkan sekarang
ini adalah perempuan legislative, bukan sekedar legislatif perempuan. Saya
yakin mereka ada di antara para caleg dan merekalah sebenarnya yang perlu
diberi prioritas dibilik suara. Itulah yang perlu kita cari sekarang ini. Semoga!!
Sang Perubah Caleg Perempuan Memberi Arti untuk Bangsa ini (doc:calegperempuan.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar