Hidup Sehat Tanpa Narkoba (doc: bnn.go.id)
Betapa pentingnya
rehabilitasi bagi pecandu Narkoba sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Itulah
yang menjadi tekad dan misi bagi Badan Narkotika Nasional (BNN) yang mulai
dicanangkan pada awal tahun 2014. Padahal Undang-undang tentang Narkoba sudah
diundangkan sejak tahun 2009. Makanya kebutuhan untuk segera merehabilitasi
sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, "sekarang inilah
saatnya kita melangkah, tidak perlu menyalahkan kenapa baru sekarang ini."
Hal ini karena memang yang sudah dimandatkan oleh
lembaga dunia PBB yang bergerak dalam bidang narkoba dan kejahatan, yang
dikenal United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan yang berlaku di
berbagai negara lainnya. Perubahan inilah yang akan dijalankan oleh BNN untuk
menangani permasalahan narkoba
Demikianlah pesan Kepala BNN
pada peserta FGD di depan para Blogger, yang diadakan oleh Deputi Pencegahan
BNN pada tanggal 14 April 2014 yang lalu di Kantor BNN, Cawang Jakarta Timur.
Acara ini mengambil tema “Standar Internasional Pencegahan Narkotika Berbasis
Ilmu Pengetahuan. Hadir juga pada acara tersebut Bapak Yappi Manape sebagai Deputi Pencegahan BNN, Bapak Gun
Gun Siswadi sebagai Direktur Diseminasi Informasi BNN, Bapak Brigjen Pol. dr Victor
Pudjiadi sebagai Direktur Advokasi Bidang Pencegahan BNN, Ibu Retno yang
bertugas di Devisi Media. Sedangkan Tujuan acara kali ini adalah
untuk mensosialisasikan standar pencegahan berbasis ilmu pengetahuan yang di
keluarkan oleh United Nations Office on Drugs And Crime (UNODC/CND)
Demikian topik dari Focus
Discussion Group yang diadakan di Kantor BNN Cawang, Jakarta Timur di depan
para Blogger beberapa hari yang lalu. Ini tidak lain karena telah disadari bahwa penyebab penuhnya Lapas
dan Rutan adalah karena banyaknya
tersangka penyalahguna narkoba yang ditangkap oleh sebagian besar penyidik
Kasus Narkoba, baik itu dilakukan oleh Polsek, Polres, Polda maupun
Bareskrim Polri. Oleh karena itu, berdasarkan kenyataan tersebut diatas, maka BNN pun merubah strategi penanganan terhadap tersangka
penyalahguna narkoba dengan program rehabilitasi, bukan proses penahanan di
Rutan dan Lapas sebagaimana biasanya.
Disamping itu BNN menilai penjara untuk pecandu
narkotika tidak akan menyelesaikan masalah. Kurungan justru bisa menjerumuskan
pecandu lebih dalam lagi pada peredaran
narkoba. Inilah hasil empiris bahwa
hukuman penjara bagi pengguna dan pecandu tidak akan menyelesaikan masalah, karena hanya
memindahkan pengguna dari luar ke dalam tembok lapas, bahkan menjerumuskan mereka ke dalam peredaran narkotika. Maka untuk para
pecandu, solusi yang seharusnya diterapkan adalah rehabilitasi. Sehingga, para pecandu dapat dipulihkan dengan segera dan
angka penyalahgunaan narkotika diharapkan bisa ditekan, sehingga
grafik pengguna lambat lain akan menurun.
Memang pecandu bukan berarti tidak salah. Mereka tetap bersalah karena sudah
menyalahgunakan narkoba untuk kesenangan sesaat, bukan untuk keperluan medis
dengan sepengetahuan dan pengawasan
dokter. Oleh karena itu para pengguna harus diselamatkan, kalau
tidak bandar narkoba akan memperoleh keuntungan yang
sangat besar, karena permintaan akan narkoba terus ada dan mungkin meningkat. Lain halnya dengan para bandar narkotika, maka proses
hukuman penjara
diperlukan yang seberat-beratnya. Kalau perlu sampai hukuman tetap harus dilakukan jika memang sudah memenuhi persyaratan. Termasuk juga dengan proses
pemiskinan kepada para bandar dengan merampas aset-asetnya karena dikhawatirkan
akan terjadi pencucian uang terhadap hasil dari penjualan narkoba.
UU no
35 tahun 2009 pasal 54 tentang Narkotika,
memahami betul kebutuhan dasar manusia atas hak untuk sehat bagi setiap warga
negara, dan memahami betul tujuan penghukuman disamping menghukum secara fisik
juga memperbaiki, memulihkan secara medis dan sosial, mengembalikan kepada
posisi semula baik fisik maupun psikis.
Oleh karena itu, langkah, pemikiran atau ide apapun asalkan
bertujuan untuk
mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba tentunya
perlu kita apresiasi,
termasuk "pengalihan" dari proses pidana ke rehabilitasi bagi
pengguna narkotika. Yang perlu justru jangan sampai ide, pemikiran atau
kebijakan itu justru menghambat semangat mencegah dan memberantas
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Karena semua itu bertujuan
untuk "memutus mata rantai peredaran gelap narkoba, yaitu "supply & demand
".
Yang dimaksud dengan memutus supply/pemenuhan ketersediaan
narkoba adalah dengan cara melakukan pemberantasan, baik itu dengan
cara menangkap para produsen,
bandar, pengedar (sindikat narkoba) kepada pasar maupun
dengan cara menggagalkan usaha penyelundupan barang-barang terlarang. Sedangkan untuk memutus
demand adalah memutus kebutuhan atas permintaan narkoba oleh para pecandu atau korban yang terkena bujuk rayu dari para
pengedar maupun bandar narkoba.
Dalam
rangka memutus mata rantai (supply dan demand) itulah mengapa penyalahguna /
pengguna narkotika di "kriminalisasi", baik dalam UU Narkotika thn
1976, 1997, maupun yang baru (2009). Itu dilakukan bukan karena pembuat UU
sekedar ingin memasukan para pengguna narkotika ke dalam penjara, tapi itu
adalah bagian dari "memutus mata rantai peredaran gelap narkotika".
Sejak
berdirinya BNN dan Bareskrim Polri memang tidak pernah tercipta keberhasilan
memotong mata rantai antara demand dan supply dalam kasus narkoba. Yang
terjadi, justru pemroduksi narkoba semakin dekat dengan dengan para
penyalahguna narkoba, karena diproduksi di Lapas Cipinang. Sampai saat ini
Bareskrim Polri urusan narkoba dan
BNN belum mampu memutus mata rantai tersebut. Kemampuan kita sekarang baru mengungkap
kasusnya setelah terjadi. Sementara untuk
pencegahannya kita belum sanggup. Oleh karena itu, semua
penyalahguna yang ditahan di Lapas dan Rutan, itu seperti hanya
memindahkan mereka saja dari
luar Lapas dan Rutan menjadi masuk ke dalam Lapas dan Rutan. Namun, bukan
pemberian efek jera.
Dengan demikian, memang
pemerintah menyadari bahwa
sampai saat ini belum berhasil melakukan upaya pemberian efek jera dan upaya
memutus mata rantai antara supply dengan demand. Oleh
karena itu perlu ada kesamaan gerakan antara BNN
dengan Lapas dan Bareskrim Polri juga Kementrian
Kesehatan, Kementrian Hukum dan HAM untuk upaya pencegahan bersama dan
saling sinergi secara harmoni. Selama masing-masing berpikir sendiri, bersikap
sendiri dan bertindak sendiri, maka para pengedar gelap narkoba
akan semakin berpesta pora.
Bersyukurlah
dengan terbitnya Peraturan Bersama (Perber) yang baru-baru ini diteken oleh
Mahkamah Agung, Kementrian Hukum dan HAM, Kementrian Kesehatan, Jaksa Agung,
Kapolri dan Kepala Badan Narkotika Nasional, pada hari Selasa tanggal 11 Maret
2014 yang lalu, terasa memberikan angin segar pada penanganan pengguna
narkoba. Tentunya peraturan bersama ini merupakan langkah kongkrit bagi
pemerintah dalam menekan jumlah pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika di
Indonesia. Perubahan besar yang terjadi pasca ditandatanganinya Peraturan
Bersama adalah perubahan orientasi pada
penanganan pengguna Narkoba, dimana pengguna narkoba selama ini bermuara pada
hukuman pidana penjara. Namun kedepannya pengguna Narkoba akan bermuara di
tempat rehabilitasi, karena hukuman bagi pengguna telah disepakati berupa pidana rehabilitasi.
Hal
ini diakui masih ada perilaku anggota yang
"bermain-main"
dengan narkoba, dalam arti berkongsi/kerjasama dengan bandar/pengedarnya untuk
mendapat keuntungan. Di satu sisi guna dapat memenuhi
"target" ungkap perkara yang dibebankan kesatuan, sedangkan di sisi
lain untuk mendapat "setoran" dari sang pengedar, bahkan mendapat jatah
narkoba untuk disalahgunakan. Lucunya yang ditangkap justru si pembeli sedang penjual/pengedarnya
tidak ditangkap, dengan alasan kabur (meski dapat diduga si pengedar adalah
"informan"nya yang merupakan anggotanya
sendiri). Pada kasus tersebut ,si pembeli tetap diproses penyidikan oleh
anggota dengan alasan karena telah terbukti "memiliki,
menyimpan atau menguasai" walau BB jumlahnya sedikit (lihat
pasal 111 dan 112 UU Nomor 35 Tahun 2009).
Disini yang perlu digalakkan
adalah rehabilitasi sebagai sanksi
hukumnya, bukan sekedar rehabilitasi biasa semata, tetapi menjalankan putusan
pidana dengan mengharuskan terpidana untuk menjalani proses rehabilitasi dengan pengawasan
ketat. Maka output
dari pemidanaan adalah rehabilitasi itu sendiri. Kalau dalam perkara pidana
konvensional, wujud rehabilitasinya adalah para terpidana dimasukkan dalam
lembaga pemasyarakatan. Ini berarti mempersiapkan
terpidana tidak hanya untuk diterima kembali oleh masyarakat. Namun
juga agar yang bersangkutan mampu
mengikuti aturan dan norma2 yg hidup masyarakat. Kalau dalam kenyataannya
rehabilitasi tersebut tidak menjadikan
penyalahgunaan narkoba jera, maka dalam pengawasan tsb bisa direkomendasikan
untuk dipenjara secara terpisah dari pengedar gelap.
Belajar
dari pengalaman Portugal dalam
melaksanakan rehabilitasi sebagai hukuman berdasarkan putusan pengadilan. Jadi pecandu tetap
diproses sidik oleh penyidik, kemudian oleh Jaksa diperkuat dalam dakwaan untuk
diputus oleh Hakim dengan hukuman rehabilitasi. Bisa dibayangkan jika mereka tidak dihukum
seperti sekarang ini maka akan semakin marak penggunaan narkoba secara illegal.
Akibatnya "Pasar"
akan semakin ramai. Supplier akan menang dan tentunya
keuntungan akan berlipat ganda, karena bisnis narkoba benar-benar menggiurkan.
Begitulah tarik ulur antara 'Supply' & 'Demand' dalam hubungannya dengan pasar narkoba, yang
mempunyai 'daya tarik' yang luar biasa. Makanya tidak heran, kalau para bandar dan pengedar merasa
nyaman untuk memasarkan dagangan narkoba di Indonesia. Pantaslah banyak orang
menyebut Indonesia sebagai surga bagi para pengedar dan bandar narkoba.
Hmm, sebenarnya Indonesia tergolong terlambat
membicarakan soal ini, karena kita baru pada tahap sosialisasi, dan
menyiapkan Sumber Daya Manusia maupun perangkat keras lainnya dalam kaitannya
dengan Peraturan Bersama ini. Karena memang dulunya masing-masing berjalan
sendiri-sendiri dan tidak adanya sinergi dan kesamaan persepsi dengan
masing-masing Instansi yang terkait.
Kesadaran
hukum Indonesia terus berkembang, maka seiring dengan kesadaran untuk
Rehabilitasi medis dan sosial bagi pecandu dan korban penyalah guna, serta
dengan kesadaran untuk menghukum seberat
beratnya bagi para pengedar dan mafia narkoba serta pemiskinan bagi bagi para mafia dan bandar narkoba.
Belum lagi jika peredaran
gelap dan penyalahgunaan narkoba itu terkait dengan penghacuran keamanan
dalam negeri tanpa dengan menggunakan senjata melalui penggelontoran
narkoba besar-besaran melalui
perbatasan laut dan darat, jalur tikus, dan pelabuhan tikus. Karena melalui airport kini sudah semakin sulit. Disisi lain,
aparat kita yang
bertugas di wilayah setempat
tidak mampu berbuat, karena keterbatasan SDM dan peralatan serta anggaran.
Memang
ada kekawatiran dari para bandar dan mafia, jika sistem pencegahan dan
rehabilitas berhasil, maka jualan narkoba oleh para bandar dan para mafia
menjadi tidak laku. Dan Mafia dan para bandar akhirnya akan mati bisnisnya alias gulung tikar. Inilah yang harus kita tumbuh
kembangkan, dalam membangun
"sistem pencegahan dan rehabilitasi".
Semuanya harus berjalan seimbang antara kedua sistem
tersebut. Sama halnya dengan Supply dan Demand akan narkoba harus ditiadakan,
agar Indonesia bisa mewujudkan Indonesia bebas Narkoba di tahun 2015.
Sekarang
ini kondisi penanganan narkoba masih di "Battlefield", masih harus gigih berjuang. Tentunya dibutuhkan kerja sama baik pemerintah, dalam hal
ini diwakili oleh BNN yang menggawangi masalah narkoba, dan masyarakat, yang
diwakili oleh berbagai elemen yang ada di masyarakat dengan Satuan Tugasnya.
Disisi lain kita juga mendorong agar para pecandu narkoba untuk segera lapor
diri ke Institusi Penerima Wajib Lapor
agar bisa segera direhabilitasi atau pun dilaporkan bagi mereka yang masih
dibawah umur daripada tertangkap tangan.
Oleh
karena itu, kita semua harus bekerja keras dalam menjalankan misi BNN agar apa
yang menjadi program P4GN bisa terwujud. Termasuk dengan menerapkan cara
pencegahan yang berbasis ilmu pengetahuan yang sudah disepakati bersama sebagai
Standar Pencegahan Internasional. Semua itu untuk mewujudkan Indonesia bebas narkoba pada tahun 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar