Tidak Ada Jalan Pintas (doc: mobavatar.com)
Saya sungguh suka dengan judul ini. Rasanya benar-benar menggambarkan kondisi bangsa kita sekarang ini, dimana pemerintah atas nama negara justru mengajarkan kita melakukan jalan pintas. Betapa tidak? Karena banyak sekali kalau kita mau metani satu per satu permasalahan yang ada di negeri ini, ujung-ujungnya hanya menyelesaikan masalah sesaat. Bukan malah terus mencari sumber penyakitnya untuk kemudian diobati, biar bisa sembuh total dan bebas dari penyakit sebisa mungkin. Makanya tidak heran kalau penyakit itu kambuh lagi dan mungkin malah lebih parah, karena beban negara menjadi semakin berat.
Itulah sebabnya saya kadang bingung melihat jalannya negara ini. Bukan
apa-apa, tapi karena sering jalannya bermuka dua. Betapa tidak? Kita
disuruh mencintai produk dalam negeri, seperti ajakan dari Kementrian
Perindustrian yang dipasang dengan baliho besar di jalan ke arah Lenteng
Agung. Tetapi dalam kenyataannya semua produk yang ada di Indonesia
adalah hasil dari impor yang menggunakan devisa negara. Bahkan sekarang
ini telah mengurasnya karena neraca perdagangan kita sudah negatif,
dengan banyaknya produk impor yang masuk dibanding hasil ekspor kita.
Lebih mengerikan lagi kalau kita lihat di sektor pertanian dan
hortikultura, dimana kita pernah mendeklarasikan sebagai negara
pertanian beberapa tahun silam. Kini semua terasa sudah berbalik arah.
Kita justru menjadi negara pengimpor hasil-hasil pertanian, yang konon
katanya karena kurangnya pasokan. Kebijakan impor langsung turun,
terutama untuk produk hortikultura. Namun, jangan sampai akhirnya
kebijakan jalan pintas itu, justru menjadi obat yang mematikan petani
kita sendiri. Tanah yang dulunya kita kenal dan sering disebut sebagai
tanah surga, menanam apa saja bisa tumbuh. Kini pelan-pelan seakan
berubah menjadi neraka yang mematikan. Bayangkan itu baru dari satu
departemen, bagaimana dengan departemen yang lainnya. Tidak kalah
berbeda!!
Hal ini terlihat dari dirilisnya baru-baru ini oleh pemerintah daftar rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH)
untuk semester II tahun ini. Produk yang termasuk dalam RIPH tersebut
adalah cabai, bawang bombai, bawang merah, dan kentang. Khusus untuk
komoditas cabai, yang sebelumnya pada semester I dikatakan tidak ada
masalah, di semester II keran impor justru dibuka hingga 10 ribu ton. Wow! It’ scary, isn’t it?.
Disamping itu, pasar dalam negeri kita, juga akan digelontor dengan
buah-buahan impor. Untuk semester II 2013 ini yang masuk dalam daftar
RIPH adalah lemon, limau, anggur melon, apel, durian, lengkeng, jeruk
mandarin, pisang, dan pepaya. Bayangkan, bagaimana mungkin pepaya dan
pisang masuk dalam daftar RIPH yang perlu diimpor? Padahal produksinya
bisa dihasilkan sepanjang tahun tanpa ada halangan. Bahkan saya hampir
setiap kali lewat Pasar Minggu, yang namanya pisang dan pepaya rasanya
tidak pernah absen disana. Sangat banyak dan berlimpah jumlahnya,
bahkan sampai busuk karena kebanyakan.
Mereka yang menjabat di Kementerian Pertanian memang bisa berdalih bahwa
kebijakan impor itu telah melalui penghitungan produksi lokal dan
konsumsi masyarakat. Namun, alasan seperti itu rasanya tidak masuk akal
dan sungguh ironis sekali. Suatu negara yang berlimpah kekayaan
alamnya, termasuk hasil pertaniannya. Tapi produksi hasil pertaniannya
hampir semua impor. Dimanakah kita bisa mengajak anak-anak untuk
mencintai produk dalam negeri, kalau ternyata setiap harinya yang mereka
lihat dan yang mereka makan adalah produk impor???
Alih-alih pemerintah merancang strategi untuk meningkatkan produksi
petani dalam negeri, tapi justru jalan pintas yang pemerintah lakukan
dengan cara mengimpornya. Seperti program tahunan yang harus impor saja,
karena permasalahan dasarnya memang tidak pernah diperbaiki. Jangankan
langkah gampangan ini bisa menyembuhkan, malah membuat para produsen
hortikultura nasional, yang dikenal dengan Dewan Nasional Hortikultura
kita, ikut meradang. Mereka merasa tidak diajak untuk berdiskusi oleh
pemerintah.
Jika pernyataan tersebut benar, berarti pemerintah memang belum
menjadikan petani sebagai mitra sejati. Padahal mereka seharusnya
menjadi partner yang saling membutuhkan, tapi justru para petani
dibiarkan berjalan dan bergelut sendiri dengan permasalahan yang mereka
hadapi. Bahkan sekarang mereka harus berhadapan dengan produk-produk
dari impor yang bentuknya kelihatan lebih bagus dan besar-besar.
Walaupun belum tentu kualitasnya juga yang lebih baik.
Kebiasaan jalan pintas ini juga terlihat dalam polemik impor bawang
ilegal, bulan Maret yang lalu. Untuk menurunkan harga bawang putih yang
sudah mendekati Rp100 ribu per kilogram, pemerintah melepaskan 332 peti
kemas berisi bawang putih yang tertahan di Pelabuhan Tanjung Perak,
Surabaya. Padahal, kontainer itu tertahan karena ketidaklengkapan
persyaratan impor, yakni tidak memiliki rekomendasi impor produk
hortikultura dan surat persetujuan impor. Akhirnya lolos juga. Dimanakah
konsistensi dari pemerintah?
Sudah saatnya pemerintah menunjukkan ketegasan dan komitmen untuk
melindungi sekaligus meningkatkan produksi komoditas lokal, apapun jenis
produknya. Salah satu caranya adalah dengan menutup rapat-rapat keran
impor untuk komoditas yang bisa disediakan petani dan masyarakat dalam
negeri, sembari kita memperkuat daya tawar. Agar apa yang kita
perjuangkan dan usahakan untuk mencintai produk dalam negeri tidak
bertepuk sebelah tangan. Rasanya masing-masing Departemen tidak ada
koordinasi didalamnya, sehingga terasa pemerintahan kita berjalan dengan
dua arah. Sampai kapan masyarakat harus melihat tontonan seperti itu???
Bagaimana menurut Anda? Silakan dishare pengalaman dan ide-ide Anda?
Sekedar tulisan ringan untuk mencurahkan uneg-uneg yang ada dalam
pikiran, karena melihat persoalan bangsa yang terasa tidak pernah
selesai.
Salam Prihatin,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar