Minggu, 30 Maret 2014

Mencintai Lingkungan Hidup dan Sosial, Tidak Cukup Hanya dengan Merayakan Earth Hour


Go Green (doc: Fanpage Cintai Lingkungan Hidup dan Sosial Kita)

Kecintaanku terhadap lingkungan hidup dan bumi sungguh sudah berjalan sangat lama. Kalau boleh dibilang sejak aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 3 atau 4. Jadi kira-kira sudah sekitar 40 tahunan aku mencintai lingkungan. Waktu itu, kami masih tinggal di rumah Pak Dhe (kakak dari ibuku), karena orang tuaku masih belum mampu membeli rumah sendiri. Namun semua itu tidak menghalangiku untuk mencintai lingkungan hidup.

Di usiaku yang masih sangat belia, aku sudah menyukai kegiatan bercocok tanam, baik menanam bunga-bungaan, menanam cabe dan sayuran serta buah-buahan. Padahal tanah yang tersedia cuma sejengkal saja, yaitu disamping rumah yang sekaligus berdempetan dengan rumah tetangga. Maklum kami tinggal di kota nya (Kebumen). Jadi rumah saling berdempetan satu sama lain. Dengan lahan yang sangat sempit itu, aku berusaha memanfaatkan tanah yang ada semaksimal mungkin.

Beruntunglah menginjak aku masuk kelas 5 SD, kami pindah ke rumah sendiri. Jaraknya memang tidak begitu jauh dari rumah yang lama. Hanya sekitar 30 menit jalan kaki. Tapi untuk ukuran pada waktu itu terasa sekali kalau rumah yang kami tempati sedikit masuk kedalam.Sisi positifnya, kami hidup seperti di perkampungan, dimana setiap harinya kami bisa bermain di sawah yang kanan kirinya masih penuh dengan pepohonan. Sehingga burung-burung berkicau dan jangkerik masih sering terdengar. Ayam pun dengan bebasnya berkeliaran. 

Dari situlah aku mulai mencintai lingkungan hidup. Aku tanami pekarangan dengan berbagai jenis buah-buahan, dan sayuran-sayuran pada lahan yang kosong. Bahkan pagarnya pun kami menggunakan pagar hidup yang biasa kami makan untuk lalapan. Sementara kalau musim buah-buahan tiba, kami bisa memetik dan memakannya dari pekarangan sendiri. Karena disana ada pohon mangga (golek), jambu biji dan jambu air, dhuwet. pohon pisang, pohon kelapa dan pohon pepaya. Benar-benar nikmat sekali rasanya tinggal di kampung.

Kebetulan aku sebagai anak nomer dua dari 9 bersaudara. Tentu pekerjaanku tidak bisa dibilang ringan. Apalagi keluargaku tidak mempuyai pembantu. Mau tidak mau aku dan kakakku bertindak seperti lokomotif dalam keluarga yang bertugas memberi contoh perilaku yang baik kepada adik-adikku. Beruntunglah adik-adikku bukan termasuk anak-anak yang nakal atau bandel. Jadi kerjaanku tidak begitu sulit. Kami selalu berbagi pekerjaan rumah tangga dan masing-masing mempunyai tugas sendiri-sendiri di rumah. Termasuk kebiasaan membuang sampah pada tempatnya sudah menjadi budaya di keluarga kami. Makanya sampai besar pun kebiasaan itu masih melekat tanpa perlu ada komando lagi..

Sejak kecil aku memang sudah terbiasa hidup bersih, sehat dan  sederhana. Untuk pergi ke sekolah, kami harus jalan kaki ketika masih SD. Padahal cukup jauh, namun kami semua menikmatinya. Baru setelah duduk di bangku SMP dan SMA, aku mulai menggunakan sepeda karena jaraknya relatif jauh. Tentunya aku tidak ingin pergi ke sekolahnya telat. Jadi kebiasaan hidup bersih, sehat  dan sederhana memang sudah ditanamkan sejak aku masih kecil dan ke semua anak-anaknya yang berjumlah 9 itu.

Tidak ada sepeda motor satu pun di rumah kami sampai aku selesai kuliah di UGM, Yogja. Bahkan aku selama kuliah naik sepeda untuk memudahkan pergi ke perpustakaan. Aku membawanya dari Kebumen dan meminta Bapakku untuk mengirimkan ke Yogja, tempatku kuliah. Aku dan semua anggota keluarga ku selalu menggunakan kendaraan umum kemana pun pergi, karena kami tidak mempunyai mobil sendiri. Bahkan sampai sekarang aku tinggal di Jakarta, masih setia menggunakan kendaraan umum. Baik itu menggunakan busway, angkot maupun bus metromini dan Kopaja. Sedangkan untuk jarak yang relatif dekat, aku memilih jalan kaki, dibanding naik ojek. Semua itu aku lakukan demi kesehatan dan kecintaanku kepada lingkungan.

Padahal aku sudah melanglang buana ke beberapa negara, termasuk aku pernah hidup di Amerika untuk beberapa tahun disana. Aku juga pernah singgah di Belanda, Mesir, Jepang dan juga pergi ke tanah suci Mekkah. Namun semua itu tidak membuatku berubah dalam memerlakukan lingkungan hidup. Aku  sangat mencintainya dan aku terus memelihara dengan sebaik-baiknya dengan perilaku sehat, bersih dan hijau (go green).

Kini rumah orang tuaku di Kebumen sudah diwakafkan untuk sekolah dipakai kepentingan umum, yaitu sekolah TK dan PAUD yang dikelola resmi oleh Aisyiah (Muhammadiyah) sekitar tahun 2001. Penandatangannya memang sebelum semua orang tuaku meninggal dunia. Namun penyerahan totalnya setelah keduanya meninggal, yaitu April 2013. Persis setahun yang lalu. Sebelum itu, kegiatan pendidikan dan pengajaran sudah dimulai daripada rumah tidak ada yang menempati dan tidak dimanfaatkan. Karena ke 9 anak-anaknya sudah hidup mandiri menyebar di berbagai kota. Sementara ibuku sering berpindah-pindah menjenguk cucu-cucunya.

Daripada tidak ada yang merawatnya lagi, lebih baik rumah tempat kami  dipakai untuk kepentingan orang banyak.  Akhirnya kemanfaatannya jauh lebih meningkat, karena anak-anak bisa bermain dengan bebasnya di bawah pohon buah-buahan. Kebetulan halaman dan rumahnya cukup lapang untuk dipakai anak-anak  bermain.

Ketika aku dan anakku baru pulang dari Amerika. Dia sedang bermain 
di halaman rumah yang sekarang dipakai untuk TK dan PAUD.
(doc: pribadi)


Itulah sebabnya kecintaanku kepada lingkungan hidup dan sosial sudah melekat dalam kehidupanku sehari-hari. Termasuk menghemat air dan listrik tidak bisa dilepaskan. Bahkan terasa sudah otomatis, apa yang aku lakukan pasti ada hubungannya dengan kecintaanku terhadap lingkungan hidup dan sosial. Aku benar-benar peduli dengan lingkungan hidup dan bumi yang kita tempati ini. Sampai-sampai aku belanja pun membawa tas sendiri dari rumah, sehingga aku tak perlu lagi tas plastik dalam setiap belanjaan. Begitu juga kalau aku ada sampah kertas atau tissue, kadang aku masukkan juga di tasku, karena tidak mau mengotori lantai atau tanah. Ah! sudah banyak dan banyak sekali yang aku lakukan kalau mau dijelaskan satu per satu.

Sayangnya kesadaran ini belum merata dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Terbukti aku masih sering melihat orang membuang sampah sembarangan. Bahkan dengan seenaknya membuang ke kali yang justru membuatnya fatal. Akibatnya banjirlah yang datang, karena jalannya air menjadi tersumbat. Maka air pun protes dengan berusaha mencari jalan untuk bisa keluar. Bayangkan kalau hal itu dalam jumlah yang besar, pasti akan mendatangkan banjir. Masihkah air yang kita disalahkan?. Kalau diingat semua itu, kita sendiri sebenarnya yang salah dan ceroboh dalam bertindak. 

Begitu juga dengan perilaku banyak orang yang main lempar sampah dari jendela mobil dan jendela rumah. Kenapa mereka begitu entengnya mengotori jalan, tanah dengan membuang sampah sembarangan? Sungguh aku tidak habis pikir. Kenapa mereka sampai berbuat seperti itu?Ups! itukah perilaku manusia beradab atau berpendidikan? Anakku saja yang masih duduk di bangku SMA saja sudah tahu aturan dalam membuang sampah. 

Itulah sekelumit aksi yang kuperbuat kesehariannya terhadap lingkungan hidup dan bumi. Bagiku actions speak louder. Jadi kecintaan terhadap bumi dan sekitarnya harus diwujudkan dalam bentuk nyata. Bahkan kalau bisa sudah menjadi budaya. Jadi benar-benar melekat dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa perlu ada perintah dan komando lagi, karena itu memang sudah seharusnya.  Bukan hanya sekedar wacana dan rethorika.

Earth Hour (doc: detik.com)

Makanya adanya ajakan untuk merayakan Earth Hour yang digagas oleh  WWF - Indonesia, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam bidang konservasi alam terbesar dan tertua di Indonesia. LSM ini telah memulai kegiatannya sejak tahun 1962. Kini WWF-Indonesia bekerja di 28 kantor wilayah dari Aceh dan Papua dan memiliki staf lebih dari 400 orang jumlahnya. Lembaga inilah yang mengajak kita semua untuk mematikan listrik pada jam 20:30 - 21:30 pada tanggal 23 Maret 2014 kemarin. Acara ini sekaligus melakukan AKSI hemat air dan energi dalam rangka merayakan hari air sedunia dan sepekan kemudian jelang Earth Hour.

Sebenarnya acara ini bagus, karena mengajak siapapun yang memiliki kepedulian dan ingin mengubah lingkungan sekitar-nya menjadi lebih baik. Karena seringnya untuk melakukan hal yang baik, kita tidak bisa melakukannya sendirian. Melainkan kita perlu menggabungkan banyak orang yang memiliki tujuan yang sama. 

Sayang waktunya kurang tepat. Kebetulan aku mempunyai bisnis sampingan yang buka sampai jam 22:00. Jadi saat itu bisnisku masih  beroperasi dan tentunya aku mempunyai pelanggan. Dengan terpaksa aku tidak bisa mengikuti ajakan tersebut. Bukan berarti aku tidak perhatian dan mencintai lingkungan hidup atau bumi. Tapi apa yang aku lakukan sudah lebih dari cukup, karena aku melakukannya setiap hari. Bukan cuma setahun sekali. Memang gaungnya tidak kentara karena aku melakukannya sendiri dan keluarga besarku. Namun pola hidup go green sudah menjadi gaya hidup (life style) kami sekeluarga.

Salahkah kalau aku tidak ikut meramaikan acara Earth Hour? Sebaliknya aku bertanya "Bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda melakukan penghematan listrik, air, dan mencintai lingkungan dan bumi sekaligus? 

Kalau belum, ayo mulailah sekarang juga dan segeralah mulai dari diri sendiri. Tidak ada guna untuk  menundanya lagi. Masih juga kesulitan? Cobalah dengan kegiatan atau perilaku yang paling sederhana, seperti "jangan membuang sampah sembarangan". Dari situ nanti lama-lama bisa meningkat.  Yang penting ada usaha kesana.

Sebagai penutup, mari kita cintai bumi dan lingkungan di sekitar kita. Semua itu demi anak cucu kita nanti. Karena lingkungan atau bumi yang kita tempati ini tidak diwariskan untuk dihabiskan manfaatnya apalagi dirusak. Tapi kita justru meminjamnya dari anak cucu kita. Itulah sebabnya kita harus bisa mengelolanya, agar kemanfaatannya bisa dinikmati sampai kepada generasi yang akan datang. Semoga!!

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar