Senin, 31 Maret 2014

[Serial 1] Ternyata Aku Dulu Pernah juga Terdiagnosa Penyakit TB

 Prevent Disease: Careless Spitting, Coughing, Sneezing, Spread 
Influenza and Tuberculosis (doc: id.wikipedia.org)

Tulisan ini sekedar flashback Sejujurnya aku belum pernah melihat secara langsung bagaimana orang yang terkena Tuberkulosis (TB) itu. Walaupun berita tentang penyakit itu sudah sering aku dengar. Apa karena anggota keluargaku sehat-sehat?. Jadi aku tidak pernah melihatnya secara langsung. Yang jelas aku merasa belum pernah mendengar ada salah satu dari keluarga besarku terkena TB ini. Apalagi batuk berdahak yang terdengar mengerikan dan tidak berhenti. Padahal kami semua ada 11 orang, yang terdiri dari 9 orang anak dan kedua orang tuaku (Bapak dan Ibuku).

Disisi lain, semenjak aku kecil Bapakku sudah bekerja di apotik, yang setiap harinya bergumul dengan obat-obatan. Dan dia punya banyak kenalan dokter yang ada di kotaku. Apalagi, apotik tempat Bapakku bekerja, satu-satunya yang berada di kotaku pada waktu itu. Makanya apotik itu menerima banyak resep dari semua dokter yang ada di kotaku.

Kalau memang aku sakit, pastilah dengan cepat dan sigap Bapakku akan membawaku ke dokter. Jadi aku merasa tidak ada yang kurang namanya menjaga kesehatan di rumah. Baik ketika aku masih tinggal di Kebumen bareng sama orang tua maupun ketika aku kuliah di Yogja. Aku selalu berusaha menjaga kesehatan.

Namun anehnya aku pernah didiagnosa terkena penyakit TB, ketika pertama kali aku menginjakkan kakiku di Amerika untuk melanjutkan sekolahku di Athens, OH. Aku ke Amerika untuk mengambil program S2 (Master), pada tahun 1991. Konon semua mahasiswa pendatang dari negara berkembang harus dicek kesehatan nya dan salah satu penyakit yang ditest itu adalah TB. Hampir semua mahasiswa yang berasal dari Indonesia memperoleh hasil positif dari TB skin test. Aku sendiri bingung darimana sumbernya dan aku juga tidak merasakan kalau aku terkena penyakit TB ini.

Untungnya benjolan dari hasil testku  tidak begitu besar, dibanding punya teman-teman yang kelihatan menonjol dan besar sekali. Tapi tetap dihitung positif, karena benjolannya kentara seperti digigit nyamuk. Lama-lama benjolan itu memang hilang dengan sendirinya. Tapi pengecekan kembali itu dilakukan sebelum benjolan itu hilang.

Singkat cerita aku didiagnose terkena TB berdasarkan hasil test itu. Akhirnya aku pun harus mengikuti perawatan dengan minum obat pil selama 6 bulan. Kalau nanti dalam pemeriksaan berikutnya hilang dan tidak ada tanda-tanda lagi, aku boleh stop minum obatnya. Baru berjalan 1 - 2 bulan, teman-teman yang dari Indonesia berkomentar tentang TB skin test ini. Obrolan dari perbincangan kami antara lain seperti berikut, "itu mah akal-akalan negara Amerika saja, yang menganggap negara berkembang, seperti Indonesia sumber penyakit. Padahal yang namanya TB itu, negara kita (Indonesia) sudah tidak begitu parah. Mungkin untuk daerah yang terpencil masih banyak. Tapi kalau hidup di kota besar, rasanya sudah sangat jaranglah yang terkena TB. Apalagi kita, yang mau berangkat ke Amerika, tentu sudah dipikirkan masak-masak apabila mempunyai penyakit. Tapi itulah kenyataannya". Terus ada lagi komentar, "hati-hati lho minum obat TB itu, nanti ada side effectnya. Berhenti saja minumnya, tidak apa-apa kok".

Walah mendengar obrolan seperti itu, membuat diriku sedikit goyah, akhirnya aku hentikan semua perawatan minum obat TB yang baru berjalan 1 - 2 bulan itu. Dari pihak Health Center nya juga tidak menanyakan lagi, akhirnya aku berhenti minum obatnya. Tadaaa .... pikirku saat itu, daripada aku terkena efek samping yang lebih berbahaya. Lebih baik aku stop saja minumnya. Aku sendiri tidak merasakan hal-hal yang aneh-aneh sebenarnya. Tapi itulah kuatnya bujuk rayu teman-teman. Aku jadi ikutan tergoda. Akhirnya aku males untuk melakukan pengecekan selanjutnya, hehehhe.

Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1993, aku pindah ke kota lain, yaitu Binghamton, New York untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu S3 (Ph.D). Di kota ini aku ditest lagi penyakit TB nya dan hasilnya masih  positif. Namun benjolan itu tidak sebesar saat aku pertama kali datang di Amerika. Hasil pemeriksaan dari Health Center di kampusku, terus dilanjutkan ke Health Department milik Pemerintah Daerah setempat. Tentunya aku diberi surat rujukan untuk kesana. Sayangnya di kota yang baru  ini tidak banyak orang Indonesianya. Maka tidak ada lagi orang yang mempengaruhiku untuk menghentikan minum obat TB ini.

Akhirnya aku berhasil menyelesaikan perawatan TB persis selama 6 bulan. Habis itu aku disuruh melakukan rontgen untuk mengecek apakah TB yang ada pada tubuhku benar-benar hilang. Pada saat yang yang tidak lama berselang, aku pun diminta untuk melakukan  TB skin test lagi. Alhamdulillah semua hasil pemeriksaan sudah negatif. Senengnya tidak karuan, aku sudah lepas dari minum obat. Pada pengobatan di kota kedua ini, aku benar-benar tutup telinga. Cuma satu yang kuinginkan adalah aku ingin lepas dari keharusan rutin minum obat TB. Makanya aku tidak  merisaukan lagi efek samping yang akan ditimbulkannya, selain hanya kepasrahan semata. Untunglah semua berjalan dengan baik dan sampai sekarang aku sehat. Itu suatu kesyukuranku yang luar biasa.

Terus terang negara Amerika sangat ketat dalam melakukan pemeriksaan TB ini. Semua pendatang yang terdiagnosa positif memperoleh pembiayaan gratis atas semua biaya pengobatannya. Bahkan urusannya bukan lagi di Health Center yang dimiliki oleh kampus tempatku belajar. Tapi sudah dirujuk ke Health Department yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Mungkin TB ini dianggap penyakit yang serius. Maka penanganannya dirujuk ke tingkat yang lebih tinggi. Ribetnya itu lho, aku harus mondar-mandir ke Health Department untuk pengecekan setiap bulan dan minta obatnya. Karena jatah pemberian obat diberikan untuk 1 bulan.

Itulah sekilas pengalamanku dulu terdiagnosa penyakit TB. Mungkin itu semacam pendeteksian secara dini, maka ditest nya saja dengan TB skin test. Walaupun gejalanya belum kelihatan secara menonjol. Tapi dilihat dari hasil TB skin test sudah menunjukkan tanda positifnya. 

Aku sangat bersyukur sampai sekarang aku sehat. Aku tidak tahu apakah pengobatan TB dulu bermanfaat untuk mengurangi gejala penyakit TB ini. Yang jelas semoga tidak terjadi apa-apa dengan diriku dalam hubungannya dengan efek samping itu. Apalagi peristiwa ini sudah berjalan  lebih dari 20 tahun yang lalu. Itu saja harapanku. Semoga!!

Berdasarkan pengalamanku diatas, aku ingin ikut membantu menyebarkanluaskan informasi mengenai TB. Terutama untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penyakit ini. Disamping itu, aku juga ingin mendorong peningkatan komitmen dari seluruh komponen masyarakat. Akhirnya mari kita bersama-sama melakukan upaya  pengendalian TB di Indonesia demi terwujudnya Indonesia bebas TB, aamiin.

 Together We Can Stop TB (doc: obatjantungherbal.net)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar