Minggu, 06 November 2016

[Review Novel] Embun di Atas Daun Mapple

Cover buku novel: Embun di Atas Daun Mapple, karangan Hadis Mevlana

Judul buku        :  Embun di Atas Daun Mapple
Penulis              :  Hadis Mevlana
Tahun terbit      :  September 2014
Penerbit            : Tinta Medina (Tiga Serangkai)
Jumlah halaman : 286 halaman
ISBN               : 978-602-9211-72-6

Membaca judul novel Embun di Atas Daun Mapple mengingatkan saya ketika masih tinggal di Binghamton, New York, Amerika. Kebetulan tetangga yang tinggal persis di sebelah kiri mempunyai pohon mapple yang besar dan rindang di depan rumahnya, sehingga boleh dikatakan hampir tiap hari saya melewatinya. Maklum sebagai seorang yang sedang menuntut ilmu, membuat saya hampir tiap hari harus keluar rumah dengan berbagai tujuan yang hendak dilakukannya. Jadi kehidupan seorang pelajar di negeri orang bisa saya bayangkan. Cuma saya memang belum pernah ke Kanada, karena faktor visa yang harus saya punyai. Padahal jarak antara kota tempat saya tinggal tidak begitu jauh dengan lokasi/setting dari novel ini.Saya penasaran apakah penulis juga study atau sudah pernah kesana, karena setting lokasinya di Kanada?

Begitu juga warna cover yang berwarna putih dengan beberapa lembar daun mapple terasa cocok sekali dengan novel yang berbicara tentang perbedaan keyakinan dengan toleransi yang tinggi. Suasana seperti ini mirip sekali dengan ketika musim gugur tiba, dedaunan yang berubah menjadi warna warni, menggambarkan keindahan suasana dan menenangkan. Hal ini sesuai tema dari novel yang berbicara tentang perbedaan keyakinan dengan toleransi yang tinggi. Untuk itu, penulis patut diacungi jempol karena mampu mengetengahkan diskusi tanpa diskriminasi sedikit pun. Seperti Kiara, "Aku selayaknya penanya dan kau penjawabnya. Selebihnya tak ada niat lain, kecuali menambah wawasan semata dan pada akhirnya aku bisa menghargai pendapat dan keyakinan orang yang berseberangan denganku." (hal.223).

Apakah cerita dari novel ini berangkat dari kisah nyata yang dialami oleh penulisnya?  Saya sendiri mempunyai banyak sahabat berbeda agama, dan jalinan persahabatan itu pun begitu kuat. Namun sampai sekarang belum atau bahkan tidak pernah berdiskusi tentang agama atau keyakinan. Memang pada dasarnya membangun persaudaraan dengan orang lain bisa terjalin dengan baik tanpa harus dibatasi oleh berbagai penghalang atau sekat, dimana pun kita berada dan dalam kondisi apapun bisa terjalin. Salah satunya adalah dalam hal perbedaan agama atau kewarganegaraan. Hal ini tidak lepas, karena kebaikan yang diajarkan setiap agama akan menjadi jembatan yang akan mengikatkan kita secara kokoh.

Sikap kebersamaan dalam perbedaan keyakinan itu bisa kita temukan dalam novel Embun di Atas Daun Mapple ini. Keseharian Sofyan Alfarisi, Callista Kiara Filothei dan teman-temannya membuktikannya. Persahabatan yang sudah seperti saudara mereka jalani, walaupun mereka berasal dari negara dan keyakinan yang berbeda.

Sofyan yang menjadi mahasiswa S-2 di Universitas Saskatchewan, Kanada. Dia berasal dari Teluk Kuantan, Riau. Tinggal di negeri "keranjang roti' yang membuatnya kerap dilanda kerinduan pada emak dan Aini. Apalagi hari-harinya dihabiskan untuk kuliah, menulis dan mengajar privat. Makanya tidak aneh, kalau dalam pergaulan kesehariannya Sofyan kerap menceritakan tentang kampungnya dengan tradisi yang ada.

Sofyan tinggal di apartemen di kota Saskatoon berdua dengan Felix, seorang Kristiani. Tidak ada cerita yang istimewa di tempat tinggal mereka. Hanya setiap hari selalu saja ada mawar putih dan sebuah puisi cinta ditemukan di depan pintu kamarnya. Sayangnya Sofyan tidak tertarik sama sekali untuk mencari tahu tentang pengirimnya. Justru Felix yang berusaha menemukan sosok itu.

Hari-hari Sofyan semakin seru sejak berkenalan dengan Kiara, seorang gadis yang berasal dari Rusia dan dari seorang ibu yang berdarah Aceh. Dia dalam kesehariannya kerap memakai pernak pernik khas Indonesia, seperti kalung khas Dayak, gelang ukiran khas Bali, anting-anting mutiara khas Lombok. Namun bukan itu yang membuat Sofyan senang berteman dengannya. Kiara merupakan gadis yang cerdas, penuh rasa ingin tahu, sekaligus santun. Rasa ingin tahunya justru tercurah pada hal-hal yang berkaitan dengan agama.

Diskusi pertamanya tentang Mary the Virgin yang akhirnya membawa mereka pada diskusi-diskusi berikutnya bersama teman-temannya yang lain, seperti Felix, Fritz, Eva, Zahra dan Olivia. Sayangnya dalam perjalanannya, novel ini justru lebih banyak menceritakan tentang diskusi-diskusi antar agama tersebut, sehingga buku ini lebih terasa buku agama ketimbang novel.

Satu tokoh yang menarik dari novel setebal 286 halaman adalah sosok Kiara itu sendiri. Kiara tumbuh dalam keluarga yang demokratis. Orangtuanya dan Paman Gamaliel merupakan Orthodox sejati. Sedangkan Paman Moses Loachim adalah seorang Protestan. Juga ada paman nya yang muslim. Namun kedemokratisan itu juga mendatangkan kekhawatiran. Orangtua Kiara kerap menegur Paman Moses untuk tidak membawa Kiara keluar dari keyakinan Orthodoxnya. Bahkan kedekatan Kiara dengan Sofyan dalam berkiskusi juga ditegur oleh paman Gamaliel yang merasa Kiara sangat jauh dari ajaran Orthodox yang cenderung lebih ke bathin, memperbaiki diri dan hidup dalam budaya rasuliahnya (hal.231).

Dan yang luar biasa dari Kiara adalah pemahamannya terhadap pembagian harta warisan dalam Islam. Ketika sekumpulan mahasiswa non muslim membicarakan warisan dalam Islam yang katanya tidak memihak wanita, Kiara justru mendatangi mereka seraya membeberkan panjang lebar tentang pembagian warisan tersebut. Dia pun tidak peduli dengan pandangan aneh teman-temannya terhadap pembelaan tersebut.

Sebaliknya ada suatu hal yang terasa agak berlebihan menurut saya adalah tokoh Sofyan. Sosok mahasiswa itu terlalu sempurna. Sofyan begitu paham dengan Alquran, sekaligus Injil. Bahkan Sofyan mampu memecahkan tafsiran surat Maryam dan menghubungkannya dengan kata-kata Al-Masih Illahi dalam Aramaic Code yang baru dilihatnya.

Sosok Sofyan menjadi satu-satunya muara pengetahuan bagi semua pertanyaan. Dari urusan agama sampai urusan kesehatan. Sekiranya pengetahuan ini dibagi-bagi maka tokoh yang lain juga akan terasa kehadirannya.

Keharmonisan lainnya yang ditunjukkan dalam novel ini adalah ketulusan yang menyentuh dari seorang cleaning service di apartemen mereka, yaitu Mario. Ketika dia melihat Sofyan terburu-buru untuk menunaikan shalat subuh, Mario yang beragama Kristen pun menawarkan Sofyan dengan sepedanya ke mesjid. Dan setiap kali membagikan makanan, Mario selalu memperhatikan kehalalannya.

Semoga kita bisa mengambil hikmah dari novel ini yang menceritakan persahabatan tanpa sekat, namun tetap berpegang pada jati diri masing-masing. Memang kebenaran harus dicari, bukan hanya berasal dari kebiassan masyarakat sekitar atau karena keturunan (hal: 11)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar