Kamis, 01 Mei 2014

Rehabilitasi sebagai Upaya Untuk Memutus Mata Rantai Supply & Demand Narkoba



Hidup Sehat Tanpa Narkoba (doc: bnn.go.id)


Betapa pentingnya rehabilitasi bagi pecandu Narkoba sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Itulah yang menjadi tekad dan misi bagi Badan Narkotika Nasional (BNN) yang mulai dicanangkan pada awal tahun 2014. Padahal Undang-undang tentang Narkoba sudah diundangkan sejak tahun 2009. Makanya kebutuhan untuk segera merehabilitasi sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, "sekarang inilah saatnya kita melangkah, tidak perlu menyalahkan kenapa baru sekarang ini." Hal ini karena memang  yang sudah dimandatkan oleh lembaga dunia PBB yang bergerak dalam bidang narkoba dan kejahatan, yang dikenal United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan yang berlaku di berbagai negara lainnya. Perubahan inilah yang akan dijalankan oleh BNN untuk menangani permasalahan narkoba

Demikianlah pesan Kepala BNN pada peserta FGD di depan para Blogger, yang diadakan oleh Deputi Pencegahan BNN pada tanggal 14 April 2014 yang lalu di Kantor BNN, Cawang Jakarta Timur. Acara ini mengambil tema “Standar Internasional Pencegahan Narkotika Berbasis Ilmu Pengetahuan. Hadir juga pada acara tersebut Bapak Yappi Manape sebagai Deputi Pencegahan BNN, Bapak Gun Gun Siswadi sebagai Direktur Diseminasi Informasi BNN, Bapak Brigjen Pol. dr Victor Pudjiadi sebagai Direktur Advokasi Bidang Pencegahan BNN, Ibu Retno yang bertugas di Devisi Media. Sedangkan Tujuan acara kali ini adalah untuk mensosialisasikan standar pencegahan berbasis ilmu pengetahuan yang di keluarkan oleh United Nations Office on Drugs And Crime (UNODC/CND)

Demikian topik dari Focus Discussion Group yang diadakan di Kantor BNN Cawang, Jakarta Timur di depan para Blogger beberapa hari yang lalu. Ini tidak lain karena telah disadari bahwa penyebab penuhnya Lapas dan Rutan adalah karena banyaknya tersangka penyalahguna narkoba yang ditangkap oleh sebagian besar penyidik Kasus Narkoba, baik itu dilakukan oleh Polsek, Polres, Polda maupun Bareskrim Polri. Oleh karena itu, berdasarkan kenyataan tersebut diatas, maka BNN pun merubah strategi penanganan terhadap tersangka penyalahguna narkoba dengan program rehabilitasi, bukan proses penahanan di Rutan dan Lapas sebagaimana biasanya.                                                                                  
 
Disamping itu BNN menilai penjara untuk pecandu narkotika tidak akan menyelesaikan masalah. Kurungan justru bisa menjerumuskan pecandu lebih dalam lagi pada peredaran narkoba. Inilah hasil empiris bahwa hukuman penjara bagi pengguna dan pecandu tidak akan menyelesaikan masalah, karena hanya memindahkan pengguna dari luar ke dalam tembok lapas, bahkan menjerumuskan  mereka ke dalam peredaran narkotika. Maka untuk para pecandu, solusi yang seharusnya diterapkan adalah rehabilitasi. Sehingga, para pecandu dapat dipulihkan dengan segera dan angka penyalahgunaan narkotika diharapkan bisa ditekan, sehingga grafik pengguna lambat lain akan menurun.
 
Memang pecandu bukan berarti tidak salah. Mereka tetap bersalah karena sudah menyalahgunakan narkoba untuk kesenangan sesaat, bukan untuk keperluan medis dengan  sepengetahuan dan pengawasan dokter. Oleh karena itu para pengguna harus diselamatkan, kalau tidak bandar narkoba akan memperoleh keuntungan yang sangat besar,  karena permintaan akan narkoba terus ada dan mungkin meningkat. Lain halnya dengan para  bandar narkotika, maka proses hukuman  penjara diperlukan yang seberat-beratnya. Kalau perlu  sampai hukuman tetap harus dilakukan jika memang sudah memenuhi persyaratan. Termasuk juga dengan proses pemiskinan kepada para bandar dengan merampas aset-asetnya karena dikhawatirkan akan terjadi pencucian uang terhadap hasil dari penjualan narkoba. 

UU no 35 tahun 2009 pasal 54 tentang Narkotika, memahami betul kebutuhan dasar manusia atas hak untuk sehat bagi setiap warga negara, dan memahami betul tujuan penghukuman disamping menghukum secara fisik juga memperbaiki, memulihkan secara medis dan sosial, mengembalikan kepada posisi semula baik fisik maupun psikis.
Oleh karena itu, langkah,  pemikiran atau ide apapun asalkan bertujuan untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba tentunya perlu kita apresiasi, termasuk "pengalihan" dari proses pidana ke rehabilitasi bagi pengguna narkotika. Yang perlu justru jangan sampai ide, pemikiran atau kebijakan itu justru menghambat semangat mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Karena semua itu bertujuan untuk "memutus mata rantai peredaran gelap narkoba, yaitu "supply & demand ".
 
Yang dimaksud dengan memutus supply/pemenuhan ketersediaan narkoba adalah dengan cara melakukan pemberantasan, baik itu dengan cara menangkap para produsen, bandar, pengedar (sindikat narkoba) kepada pasar maupun dengan cara menggagalkan usaha penyelundupan barang-barang terlarang. Sedangkan untuk memutus demand adalah memutus kebutuhan atas permintaan narkoba oleh para pecandu atau korban yang terkena bujuk rayu dari para pengedar maupun bandar narkoba.
Dalam rangka memutus mata rantai (supply dan demand) itulah mengapa penyalahguna / pengguna narkotika di "kriminalisasi", baik dalam UU Narkotika thn 1976, 1997, maupun yang baru (2009). Itu dilakukan bukan karena pembuat UU sekedar ingin memasukan para pengguna narkotika ke dalam penjara, tapi itu adalah bagian dari "memutus mata rantai peredaran gelap narkotika". 

Sejak berdirinya BNN dan Bareskrim Polri memang tidak pernah tercipta keberhasilan memotong mata rantai antara demand dan supply dalam kasus narkoba. Yang terjadi, justru pemroduksi narkoba semakin dekat dengan dengan para penyalahguna narkoba, karena diproduksi di Lapas Cipinang. Sampai saat ini Bareskrim Polri urusan narkoba dan BNN belum mampu memutus mata rantai tersebut. Kemampuan kita sekarang baru mengungkap kasusnya setelah terjadi. Sementara untuk pencegahannya kita belum sanggup. Oleh karena itu, semua penyalahguna yang ditahan di Lapas dan Rutan, itu seperti hanya memindahkan mereka saja dari luar Lapas dan Rutan menjadi masuk ke dalam Lapas dan Rutan. Namun, bukan pemberian efek jera.

Dengan demikian, memang pemerintah menyadari bahwa sampai saat ini belum berhasil melakukan upaya pemberian efek jera dan upaya memutus mata rantai antara supply dengan demand. Oleh karena itu perlu ada kesamaan gerakan antara BNN dengan Lapas dan  Bareskrim Polri juga Kementrian Kesehatan, Kementrian Hukum dan HAM untuk upaya pencegahan bersama dan saling sinergi secara harmoni. Selama masing-masing berpikir sendiri, bersikap sendiri dan bertindak sendiri, maka para pengedar gelap  narkoba akan semakin berpesta pora. 

Bersyukurlah dengan terbitnya Peraturan Bersama (Perber) yang baru-baru ini diteken oleh Mahkamah Agung, Kementrian Hukum dan HAM, Kementrian Kesehatan, Jaksa Agung, Kapolri dan Kepala Badan Narkotika Nasional, pada hari Selasa tanggal 11 Maret 2014 yang lalu, terasa memberikan  angin segar pada penanganan pengguna narkoba. Tentunya peraturan bersama ini merupakan langkah kongkrit bagi pemerintah dalam menekan jumlah pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika di Indonesia. Perubahan besar yang terjadi pasca ditandatanganinya Peraturan Bersama adalah perubahan orientasi pada penanganan pengguna Narkoba, dimana pengguna narkoba selama ini bermuara pada hukuman pidana penjara. Namun kedepannya pengguna Narkoba akan bermuara di tempat rehabilitasi, karena hukuman bagi pengguna telah disepakati berupa pidana rehabilitasi.

Hal ini diakui masih ada perilaku anggota yang "bermain-main" dengan narkoba, dalam arti berkongsi/kerjasama dengan bandar/pengedarnya untuk mendapat keuntungan. Di satu sisi guna dapat memenuhi "target" ungkap perkara yang dibebankan kesatuan, sedangkan di sisi lain untuk mendapat "setoran" dari sang pengedar, bahkan mendapat jatah narkoba untuk disalahgunakan. Lucunya yang ditangkap justru  si pembeli sedang penjual/pengedarnya tidak ditangkap, dengan alasan kabur (meski dapat diduga si pengedar adalah "informan"nya yang merupakan anggotanya sendiri). Pada kasus tersebut ,si pembeli tetap diproses penyidikan oleh anggota dengan alasan karena telah terbukti  "memiliki, menyimpan atau menguasai" walau BB jumlahnya sedikit (lihat pasal 111 dan 112 UU Nomor 35 Tahun 2009).

Disini yang perlu digalakkan adalah rehabilitasi sebagai sanksi hukumnya, bukan sekedar rehabilitasi biasa semata, tetapi menjalankan putusan pidana dengan mengharuskan terpidana untuk menjalani proses rehabilitasi dengan pengawasan ketat. Maka output dari pemidanaan adalah rehabilitasi itu sendiri. Kalau dalam perkara pidana konvensional, wujud rehabilitasinya adalah para terpidana dimasukkan dalam lembaga pemasyarakatan. Ini berarti mempersiapkan terpidana tidak hanya untuk diterima kembali oleh masyarakat. Namun juga agar yang bersangkutan mampu mengikuti aturan dan norma2 yg hidup masyarakat. Kalau dalam kenyataannya rehabilitasi tersebut tidak menjadikan penyalahgunaan narkoba jera, maka dalam pengawasan tsb bisa direkomendasikan untuk dipenjara secara terpisah dari pengedar gelap.

Belajar dari pengalaman Portugal dalam melaksanakan rehabilitasi sebagai hukuman berdasarkan putusan pengadilan. Jadi pecandu tetap diproses sidik oleh penyidik, kemudian oleh Jaksa diperkuat dalam dakwaan untuk diputus oleh Hakim dengan hukuman rehabilitasi. Bisa dibayangkan jika mereka tidak dihukum seperti sekarang ini maka akan semakin marak penggunaan narkoba secara illegal. Akibatnya "Pasar" akan semakin ramai. Supplier akan menang dan tentunya keuntungan akan berlipat ganda, karena bisnis narkoba benar-benar menggiurkan.

Begitulah tarik ulur antara 'Supply' & 'Demand' dalam hubungannya dengan pasar narkoba, yang mempunyai 'daya tarik' yang luar biasa. Makanya tidak heran, kalau para bandar dan pengedar merasa nyaman untuk memasarkan dagangan narkoba di Indonesia. Pantaslah banyak orang menyebut Indonesia sebagai surga bagi para pengedar dan bandar narkoba. 

Hmm, sebenarnya Indonesia tergolong terlambat membicarakan soal ini, karena kita baru pada tahap sosialisasi, dan menyiapkan Sumber Daya Manusia maupun perangkat keras lainnya dalam kaitannya dengan Peraturan Bersama ini. Karena memang dulunya masing-masing berjalan sendiri-sendiri dan tidak adanya sinergi dan kesamaan persepsi dengan masing-masing Instansi yang terkait. 

Kesadaran hukum Indonesia terus berkembang, maka seiring dengan kesadaran untuk Rehabilitasi medis dan sosial bagi pecandu dan korban penyalah guna, serta dengan  kesadaran untuk menghukum seberat beratnya bagi para pengedar dan mafia narkoba serta pemiskinan bagi bagi para mafia dan bandar narkoba. Belum lagi jika peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba itu terkait dengan penghacuran keamanan dalam negeri tanpa dengan menggunakan senjata melalui penggelontoran narkoba besar-besaran melalui perbatasan laut dan darat, jalur tikus, dan pelabuhan tikus. Karena melalui airport kini sudah semakin sulit. Disisi lain, aparat kita yang bertugas di wilayah setempat tidak mampu berbuat, karena keterbatasan SDM dan peralatan serta anggaran. 

Memang ada kekawatiran dari para bandar dan mafia, jika sistem pencegahan dan rehabilitas berhasil, maka jualan narkoba oleh para bandar dan para mafia menjadi tidak laku. Dan Mafia dan para bandar akhirnya akan mati bisnisnya alias gulung tikar. Inilah yang harus kita tumbuh kembangkan, dalam membangun "sistem pencegahan dan rehabilitasi". Semuanya harus berjalan seimbang antara kedua sistem tersebut. Sama halnya dengan Supply dan Demand akan narkoba harus ditiadakan, agar Indonesia bisa mewujudkan Indonesia bebas Narkoba di tahun 2015.

Sekarang ini kondisi penanganan narkoba masih di "Battlefield", masih harus gigih berjuang. Tentunya dibutuhkan kerja sama baik pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh BNN yang menggawangi masalah narkoba, dan masyarakat, yang diwakili oleh berbagai elemen yang ada di masyarakat dengan Satuan Tugasnya. Disisi lain kita juga mendorong agar para pecandu narkoba untuk segera lapor diri ke Institusi Penerima Wajib Lapor agar bisa segera direhabilitasi atau pun dilaporkan bagi mereka yang masih dibawah umur daripada tertangkap tangan.

Oleh karena itu, kita semua harus bekerja keras dalam menjalankan misi BNN agar apa yang menjadi program P4GN bisa terwujud. Termasuk dengan menerapkan cara pencegahan yang berbasis ilmu pengetahuan yang sudah disepakati bersama sebagai Standar Pencegahan Internasional. Semua itu untuk mewujudkan Indonesia bebas narkoba pada tahun 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar