Selasa, 10 Maret 2015

Sebuah Testimoni: Perlu Komitmen dan Tekad yang Kuat untuk Bisa Sembuh dari Penyakit TB

Foto bersama para peserta Workshop TB di Bandung 3-5 Maret 2015 
(doc: Eyang Anjari)

Mengikuti Workshop TB untuk para Blogger yang diadakan oleh Kementrian Kesehatan dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dari tanggal 3 - 5 Maret yang lalu di Bandung, mengingatkan saya, ketika terdiagnosa TB sekitar 20 tahun yang lalu. Tulisan ini sekedar flashback akan masa lalu yang pernah saya alami ketika saya sekolah di Amerika.

Waktu itu saya baru saja datang untuk pertama kalinya ke Amerika dalam rangka mengikuti program pendidikan di sana. Universitas, tempat dimana saya kuliah mensyaratkan semua mahasiswa asing yang berasal dari negara berkembang  harus mengikuti uji test untuk Tuberkulosis (Mantoux test).

Hal ini karena adanya anggapan bahwa di banyak negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan dan beberapa negara di Afrika, penyakit TB masih merupakan salah satu penyakit yang dominan. Mungkin saja, mereka tidak ingin terkena dampak dari munculnya virus TB, yang akhirnya menyebar dan menularkan ke rakyat Amerika. Ini tidak lain sebagai suatu cara untuk pencegahan dan perlindungan kepada warganya dari terjangkitnya penyakit TB yang menular ini.

Maka sesampainya saya disana dan saatnya registrasi ulang, saya harus mengikuti satu jenis uji kesehatan yang berupa Mantoux Test (Uji Tuberkulin). Dengan uji tuberkulin ini, dapat dketahui apakah anak/seseorang terinfeksi TB atau tidak. Seseorang yang terinfeksi TB akan memberikan hasil positif berupa benjolan di tempat suntikan kira-kira setelah 48 - 72 jam. Tentunya hasil uji tuberkulin ini harus dinilai oleh dokter. Saya tidak tahu kenapa mereka menggunakan Uji Tuberkulin untuk pendeteksian TB nya. Apakah ini hanya untuk kepraktisan dalam pendeteksian awal?.

Hmmm, mungkin itu tebakan saya. Setelah waktunya pengecekan kembali, ternyata hasilnya positif, walaupun benjolan merah yang saya punyai (sangat) kecil, dibanding yang dimiliki oleh beberapa teman saya yang kelihatan besar dan menonjol. Lama-lama benjolan itu memang hilang dengan sendirinya. Tapi pengecekan kembali itu dilakukan sebelum benjolan itu hilang. Namun saya tetap dinyatakan positif hasilnya dan saya harus mengikuti pengobatan rutin selama 6 bulan.

Kalau menengok dari asal usul kondisi kesehatan keluarga, rasanya tidak ada yang sakit, apalagi sakit batuk sampai berdahak. Tidak ada juga yang merokok, karena adik-adik saya masih kecil-kecil semua. Di rumah orang tua saya di Kebumen pun tergolong rumah yang sehat, karena banyak sekali jendela yang selalu terbuka, sehingga udara dan sinar matahari bebas keluar masuk tanpa ada halangan.

Sementara Bapak saya bekerja di Apotik milik Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen, yang merupakan satu-satunya Apotik yang menjadi rujukan para dokter di Kebumen. Dengan demikian praktis Bapak saya punya kenalan banyak dokter dan perusahaan obat yang selalu datang untuk menjual produknya. Kebetulan posisi Bapak saya di bagian yang mengurusi Administrasi dan pemesanan obat-obatan. Jadi beliau hampir hafal semua nama obat-obatan yang ada di Apotik.

Oleh karena itu, saya sendiri bingung saat mendengar saya terdiagnosa penyakit TB ini. Darimana sumbernya dan saya tidak merasakan kalau saya terkena penyakit TB ini. Jadi ada semacam denial (penolakan), kok saya bisa terkena penyakit TB ini. Itulah semacam gugatan awal saya kok bisa? Padahal saya sudah berusaha menjaga kesehatan secara benar menurut saya.

****

Akhirnya saya pun harus mengikuti perawatan dengan minum obat pil selama 6 bulan. Kalau nanti setelah selesai pengobatan 6 bulan selesai dan dilakukan pemeriksaan berikutnya, benjolan itu hilang dan tidak ada tanda-tanda lagi, maka saya boleh stop minum obatnya.

Sayangnya baru berjalan 1 - 2 bulan, teman-teman yang dari Indonesia berkomentar tentang TB skin test ini. Obrolan dari perbincangan kami antara lain seperti berikut, "itu mah akal-akalan negara Amerika saja, yang menganggap negara berkembang, seperti Indonesia sumber penyakit. Padahal yang namanya TB itu, di negara kita (Indonesia) sudah tidak begitu parah. Mungkin untuk daerah yang terpencil masih banyak. Tapi kalau hidup di kota besar, rasanya sudah sangat jaranglah yang terkena TB. Apalagi kita, yang mau berangkat ke Amerika, tentu sudah dipikirkan masak-masak apabila mempunyai penyakit. Tapi itulah kenyataannya". Terus ada lagi komentar, "hati-hati lho minum obat TB itu, nanti ada side effectnya. Berhenti saja minumnya, tidak apa-apa kok".

Walah mendengar obrolan seperti itu, membuat saya goyah, maka saya pun ikut menghentikan semua perawatan minum obat TB yang baru berjalan 1 - 2 bulan itu. Dari pihak Health Center juga tidak menanyakan lagi. Jadi wajarlah kalau saya berhenti minum obatnya. Sama sekali tidak ada bayangan kalau nantinya saya kena TB - MDR. Yang ada dalam pikiran saya adalah "Tadaaa ...saya sudah tidak perlu minum obat lagi. Apalagi mendengar efek samping dari minum obat itu yang kata mereka lebih berbahaya.

Lebih baik saya stop saja minumnya. Saya  sendiri tidak merasakan hal-hal yang aneh-aneh sebenarnya. Tapi itulah kuatnya bujuk rayu teman-teman. Saya akhirnya ikut juga tergoda. Saya kemudian menjadi males minum obat dan tidak melakukan pengecekan selanjutnya, hehehhe.

Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1993, saya pindah ke kota lain, yaitu Binghamton, New York untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Di kota ini saya ditest lagi penyakit TB nya dan hasilnya masih  positif. Namun benjolan itu tidak sebesar saat saya pertama kali datang ke Amerika. Hasil pemeriksaan dari Health Center di kampus yang kedua ini, terus dilanjutkan ke Health Department milik Pemerintah Daerah setempat. Tentunya saya diberi surat rujukan untuk kesana. Sayangnya di kota yang baru  ini tidak banyak orang Indonesianya. Maka tidak ada lagi orang yang bisa mempengaruhi saya untuk menghentikan minum obat  TB ini.

Akhirnya saya berhasil menyelesaikan perawatan  TB persis selama 6 bulan. Habis itu saya disuruh melakukan rontgen untuk mengecek apakah TB yang ada pada tubuh saya benar-benar hilang. Pada saat  yang tidak lama berselang, saya pun diminta untuk melakukan TB skin test lagi. Alhamdulillah semua hasil pemeriksaan negatif. Saya senengnya tidak karuan, karena  sudah bisa  lepas dari minum obat. Pada pengobatan di kota kedua ini, saya benar-benar tutup telinga. Cuma satu yang saya inginkan adalah saya ingin lepas dari keharusan rutin minum obat TB. Makanya saya tidak  merisaukan lagi efek samping yang akan ditimbulkannya, selain hanya komitmen dan tekad yang kuat untuk mengikuti aturan semata. Untunglah semua berjalan dengan baik dan sampai sekarang saya merasa sehat. Itu suatu kesyukuran saya yang luar biasa.

Saya bisa merasakan bagaimana beratnya perjuangan untuk bisa bebas dari penyakit TB yang lainnya, seperti TB - MDR dan TB - HIV. Karena saya pun pernah mengalaminya, walaupun tingkatannya masih TB regular. Mendengarkan testimoni dari para mantan pasien TB yang sampai dikucilkan darikeluarga dan bahkan sampai diceraikan oleh suami gegara istri terkena TB - MDR membuat saya ikut larut dalam suasana sedih. Beruntunglah semuanya bisa berakhir dengan baik dan mereka telah berhasil menyelesaikan semua proses   pengobatannya sehingga mereka sudah dinyatakan bebas TB.

Bagi saya sendiri merasa negara  Amerika pun mempunyai aturan yang ketat dalam melakukan pemeriksaan TB pada waktu itu. Semua pendatang dari negara sedang berkembang harus menjalani Uji Tuberkulin, hanya untuk  mendeteksi ada tidaknya lebih dahulu. Setelah diketahui mereka ada, barulah dirujuk ke Health Department milik Pemerintah daerah setempat untuk menangani mereka yang sudah terdiagnose. Hal ini mungkin karena penyakit TB ini dianggap penyakit yang serius. Maka penanganannya dirujuk ke tingkat yang lebih tinggi. Tapi ribetnya itu lho, karena saya harus mondar-mandir ke Health Department untuk pengecekan setiap bulan dan meminta obatnya. Ini tidak lain karena jatah pemberian obat hanya diberikan untuk 1 bulan.

Itulah sekilas pengalaman saya dulu terdiagnosa penyakit  TB. Mungkin Mantoux test itu semacam pendeteksian secara dini, maka ditest nya saja dengan  TB skin test. Walaupun gejalanya belum kelihatan secara menonjol. Tapi dilihat dari hasil TB skin test sudah menunjukkan tanda positifnya.

Saya sangat bersyukur sampai sekarang saya sehat. Saya merasa yakin bahwa pengobatan TB saya dulu bermanfaat dalam mengurangi gejala penyakit  TB ini. Yang jelas semoga tidak terjadi apa-apa dengan diri saya dalam hubungannya dengan efek samping itu. Apalagi peristiwa ini sudah berjalan  lebih dari 20 tahun yang lalu. Semoga !!!
Bersama Kita Berantas TB (doc: bahan bacaan/flier Kemenkes)

Berdasarkan pengalaman saya diatas, saya ingin ikut membantu menyebarkanluaskan informasi mengenai bahayanya penyakit TB ini apabila tidak diobati secara teratur. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pengendalian TB di Indonesia demi terwujudnya Indonesia bebas TB, aamiin.

1 komentar:

  1. Negara-negara maju ternyata lebih ketat lagi di dalam memberantas TB ini, ya, Bu? Dan Alhamdulillah, Indonesia tercinta ini juga punya komitmen kuat di dalam membantu rakyatnya untuk lepas dari serangan penyakit yang satu ini. Yuk kita bantu sebarluaskan informasinya agar semakin banyak masyarakat yang aware, yuk!

    BalasHapus